Bela Banua Talino (LBBT) was established in 1992 to amplify the aspirations of local activists to support Indigenous Peoples facing conflicts on lands and access to natural resources in West Kalimantan. LBBT focuses on advocating policy change at the regional level, educating Indigenous Peoples, and raising awareness of their customary rights. \n 

West Kalimantan, like other regions in Kalimantan, has quite extensive forests. This province has a forest area of ​​8,389,600 hectares or 57.14% of the provincial land area. This forest is spread across all districts and cities in the province. These forests are home to many groups of Indigenous Peoples in West Kalimantan, who rely on forests to meet their basic necessities and sustain their livelihoods.  LBBT works to advocate for government policies that pay attention to the interests of Indigenous Peoples and educate the community to be aware of their rights, including the protection and management of their customary territories in a sustainable and everlasting manner.

\
The history of the establishment of LBBT started with the visit of several people from the Pancur Kasih Empowerment Movement (GPPK), namely A.R. Mecer, Sandra Moniaga, John Bamba, Stephanus Djuweng, and Oktavianus Kamusi to the Philippines for a comparative study. They are interested in studying civil society movements in the Philippines, primarily legal and environmental movements carried out by one of the institutions in the country, namely the Legal Rights Center (LRC). After returning to Indonesia armed with this experience, they took the initiative to establish a similar institution. GPPK then collaborated with the Dayakology Institute (ID), WALHI Jakarta, and LBH Surabaya to establish LBBT, also called the Institute for Community Legal Resources Empowerment. \n 

LBBT strengthens Indigenous Peoples Groups to develop their legal capacity to gain recognition, respect, and protection. Currently, LBBT focuses on four strategic issues, namely: (1) developing legal capacity (research, legal Education, and policy advocacy); (2) increasing institutional capacity and resources management (human resources, assets, knowledge, data, and strategy development); (3) carrying out campaigns and advocacy through Social Media and other media; (4) organizing communities, including women, youth, vulnerable groups, in sustainable natural resources management.

\
The vision of LBBT is to ensure that "Dayak and marginalized communities can be economically independent, socio-culturally dignified, and politically sovereign  in togetherness with the spirit of love."

\
To achieve its vision, LBBT advocates for the rights of Indigenous Peoples through community organization, building community legal and institutional capacity, optimizing networks, and engaging youth, women, and other vulnerable groups." \n 

LBBT has made significant progress since its establishment, including assisting 13 community organizations under the framework of the Bela Banua community; conducting research, including collecting customary regulations in each sub-district and dozens of articles about community struggles and land disputes; and publishing two books about land grabbing of community resources and LBBT advocacy experiences. \n 

LBBT believes collaborations with various community organizations can ensure Indigenous Peoples and customary groups gain recognition, respect, and protection.

LBBT (Lembaga Bela Banua Talino) terbentuk pada tahun 1992. Para pendirinya membentuk lembaga ini dalam rangka mencari model pendampingan hukum yang berbasis pada kekuatan tradisi dan pengaturan internal masyarakat di satu sisi dan hukum negara di sisi lain. Dua topangan itu menjadi kerangka kerja dalam penyelesaian sejumlah konflik penguasaan sumber daya alam di Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, seiring dengan desentralisasi sistem politik, lembaga ini kemudian berfokus untuk mendorong perubahan kebijakan di tingkat daerah (advokasi kebijakan) serta mengedukasi Masyarakat Adat untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap tanah dan sumber daya alam (advokasi hak).

\
Kalimantan Barat, seperti halnya wilayah lain di Kalimantan, memiliki hutan yang cukup luas. Provinsi ini memiliki kawasan hutan seluas 8.389.600 Ha atau mencapai 57,14% dari jumlah total luas wilayah Provinsi tersebut (14.680.790 ha). Hutan ini tersebar di seluruh wilayah Kabupaten dan Kota di provinsi tersebut. Di samping itu, hutan merupakan tempat tinggal dan sumber penghidupan bagi berbagai kelompok masyarakat adat. Karena itu, LBBT memusatkan perhatian pada masyarakat adat dan membangun berbagai upaya untuk mendorong kebijakan yang berbasis kepentingan masyarakat adat. Selain itu, LBBT juga melakukan berbagai jenis pendidikan agar masyarakat adat menyadari perlunya negara melindungi dan mengakui hak-hak mereka, termasuk hak mengelola wilayah adatnya secara lestari dan berkelanjutan.

\
Sejarah terbentuknya LBBT berawal dari kunjungan beberapa orang dari Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih (GPPK), yaitu A.R. Mecer, Sandra Moniaga, John Bamba, Stephanus Djuweng dan Oktavianus Kamusi ke Filipina dalam rangka studi banding. Mereka tertarik untuk mempelajari gerakan masyarakat sipil di Filipina, terutama gerakan hukum dan lingkungan yang mempertimbangkan dimensi kebudayaan yang dilakukan oleh salah satu lembaga di negara tersebut, yakni *Legal Rights and Natural Resources Center* (LRC). Setelah kembali ke Indonesia dengan berbekal pengalaman tersebut, mereka berinisiatif untuk membentuk lembaga serupa. Hal itu kemudian mendorong GPPK untuk bekerjasama dengan Institut Dayakologi (ID), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Surabaya (LBHS) untuk mendirikan LBBT atau yang disebut juga Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Hukum Masyarakat - *Institute for Community Legal Resources Empowerment*. \n 

LBBT memiliki mimpi besar untuk menguatkan Masyarakat Adat (MA) dan Organisasi Masyarakat Adat (OMA) dalam mengembangkan sumber daya hukumnya agar dapat memperoleh  pengakuan, penghormatan dan perlindungan. Saat ini LBBT fokus pada 4 isu strategis, yakni: (1) Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat (Kajian, Pendidikan Hukum, Advokasi Kebijakan); (2) Peningkatan Kapasitas dan sumberdaya kelembagaan LBBT (SDM, Asset, Pengetahuan, Data Keahlian, Strategi mengemas Isu); (3) Kampanye melalui Media Sosial dan media lainnya; (4) Pengorganisasian (komunitas, lembaga Adat, Perempuan, Kaum muda, Kelompok Rentan, jaringan) difokuskan pada pengelolaan sumberdaya alam.

\
Adapun yang menjadi visi dari lembaga ini adalah "Masyarakat Dayak dan masyarakat tertindas pada umumnya mampu mengelola kehidupan dalam kebersamaan dengan semangat cinta kasih hingga mandiri secara ekonomi, bermartabat secara sosial budaya, dan berdaulat secara politik”.

\
Sementara misi-nya adalah “memperkuat advokasi hak-hak masyarakat adat melalui pengorganisasian, pengembangan sumber daya hukum masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan, optimalisasi jaringan, pelibatan kaum muda, perempuan, dan kelompok rentan lainnya.”

\
Dalam perjalanannya hingga saat ini, LBBT sudah mendapatkan capaian yang signifikan, diantaranya berhasil menghimpun 13 organisasi rakyat di bawah payung komunitas Bela Banua, melahirkan 45 pendamping hukum rakyat yang memiliki kapasitas advokasi kebijakan dan negosiasi serta mengambil peran pengorganisasian di komunitasnya.  Para pendamping ini menjadi ujung tombak  dalam mendorong penetapan MHA (Masyarakat Hukum Adat) dan hutan adat. Mereka memfasilitasi 6 Perdes dan 3 SK desa terkait  lembaga pengelola hutan adat dan penyusunan aturan adat pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, LBBT mendukung penguatan aturan adat terkait pengelolaan sumberdaya alam di 9 komunitas yang mendorong Hutan Adat dan 20 komunitas yang mengajukan penetapan wilayah adat. Dalam rangka mendapatkan pengakuan dan perlindungan pemerintah, LBBT membangun kerja sama dengan 6 pemerintah daerah, yakni: Sanggau, Sekadau, Melawi, Sintang, dan Kapuas Hulu untuk mendorong terbitnya Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA (Perda PPMHA).  Dari 8 Perda PPMHA yang ada di kalbar, LBBT berkontribusi terhadap terbitnya 6 perda kabupaten, 20 SK Bupati tentang PPMHA dengan luas wilayah adat 433.638,79 hektar. Dari 20 SK KLHK tentang penetapan hutan adat, LBBT secara aktif mendorong terbitnya 9 SK Hutan Adat di 4 Kabupaten. Pada Juni 2024 usulan Hutan Adat yang didampingi LBBT akan diverifikasi teknis oleh KLHK seluas 151.000 hektar, yakni hutan adat Ketemenggungan Punan Uheng Kereho dan Ketemenggungan Kalis yang berlokasi di Kabupaten Kapuas Hulu. Saat ini LBBT bersama komunitas di 4 kampung di Kabupaten Melawi merestorasi 268 hektar lahan kritis dengan tanaman yang berfungsi ekologis dan ekonomis.

\
Dengan kolaborasi yang dilakukan bersama berbagai organisasi rakyat tersebut, LBBT percaya perjuangan agar Masyarakat Adat (MA) dan Organisasi Masyarakat Adat (OMA) untuk memperoleh  pengakuan, penghormatan dan perlindungan dalam mengembangkan sumber daya hukumnya dapat terwujud.

icon

thumbnail

brosur-eng-1

brosur-eng-2

Lembaga Bela Banua Talino (LBBT)

About Member